Semuanya Tentang Politik




Minggu kemarin lagi-lagi kita diingatkan akan istilah dari Bahasa Latin, "Vox Populi, Vox Dei" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan. Rakyat harusnya memegang kendali penuh atas jalannya republik ini. Pemerintah adalah hamba sahaya. Bagaimana tidak? Tindak tanduk pemerintah belakangan membuat rakyat lagi-lagi harus turun ke jalan.

Tulisan ini adalah bentuk refleksi dari demonstrasi mahasiswa yang turun ke jalan demi memperbaiki marwah Pancasila. Dengan judul 'Semuanya Tentang Politik', saya berharap bisa membuka perspektif baru yang mungkin orang belum sadar bahwa semua bentuk aktivitas kita sehari-hari begitu ditentukannya dengan politik atau pemerintah sebagai politisi yang memegang status quo saat ini.

Pertama, kita mulai dari kutipan 'mencerdaskan kehidupan bangsa'. Saya yakin sekali sudah banyak kebijakan yang mencerdaskan kehidupan kita dan saya mau berterima kasih dulu untuk itu. Namun, akselerasinya tidak sebanding dengan anggaran yang dikeluarkan. Tingkat literasi anak Indonesia masih jauh dari kata baik.

Kita selalu menyalahkan rendahnya minat anak Indonesia yang rendah, padahal pemerintah juga ikut andil dalam menyumbang: Pajak penulis yang besar, akses membaca buku yang sulit untuk anak-anak pedalaman, beredarnya buku bajakan di lokakarya, perpustakaan yang hanya terpusat di kota-kota besar, pendanaan untuk penulis yang sedikit, dan buku impor yang masih mahal. Betapa masih berjuangnya kita hanya untuk menumbuhkan minat baca dan semua itu bisa dibantu dengan kebijakan pemerintah.

Siapa yang enggak mau punya perpustakaan kayak Central Public Library seperti di Singapore? Buku lengkap, tempat nyaman dan estetik, plus bisa jadi co-working space juga. Saya yakin sekali budaya literasi jadi semakin mudah jika sejalan dengan tren-tren seperti ini.

Di beberapa forum di Twitter berasumsi bahwa para politisi tidak ingin mencerdaskan anak-anak Indonesia karena, jika mereka pintar, maka akan sulit membodoh-bodohi mereka.

Mereka akan sulit dikendalikan, mereka akan banyak mau, dan kritis. Terlepas dari salah dan benarnya asumsi ini, jika kita melihat realitas di lapangan, maka besar kemungkinan kita sedang berada di fase di mana orang-orang kritis selalu dianggap menyebalkan, dianggap banyak omong saja. Jika literasi kita meningkat, maka rakyat menjadi kritis terhadap pemerintah, dan mereka cenderung tidak menyukai itu. Maka, narasi yang bangun adalah seolah-olah 'percuma pintar saja, tanpa ada aksi'. Dan ini sangat menyesatkan.

Betapa panjangnya proses kemerdekaan Indonesia yang tercatat dalam sejarah dan beratnya melawan penjajah, semua itu dipelihara oleh semangat-semangat pejuang dan kaum pemikir yang mengedepankan intelektualitas seperti Tan Malaka, Moh Hatta, Sutan Sjahrir, Bung Tomo, Agus Salim, dsb. Kita tidak akan pernah menjadi bangsa yang merdeka tanpa campur tangan orang-orang seperti mereka. Orang-orang yang mau belajar demi menjadi bagian dari pemenangan sejarah Indonesia.

Kedua, tata kota yang menyedihkan. Dalam hal ini justru menyebabkan kemacetan yang tidak berkurang secara signifikan, kurangnya lahan hijau, hak pejalan kaki yang selalu tertindas, dan udara kotor yang sehari-hari kita hirup. Kita manusia adalah makhluk sosial yang suka berjejaring dan eksplorasi demi kesehatan mental, tak heran kita suka pergi ke mall, kafe, mall, kafe... Lho? Enggak ada yang lain ya? Harusnya ada! Kurangnya ruang hijau juga salah satu PR bagi pemerintah Indonesia! Public space and walkable street are our right! Kita perlu ruang hijau untuk berjejaring, kesehatan mental, penetral udara yang baik, dsb. Masa enggak mau bengang-bengong di tempat sejuk nan adem sambil ngopi?

Ketiga, lapangan kerja. Janji politik adalah omong kosong jika pada kenyataannya kita justru kesulitan mencari kerja. Dalam satu dekade ini, lapangan pekerjaan harusnya cukup banyak, namun di sisi lain ironisnya, banyak perusahaan yang kesulitan mencari kandidat. Ini ditenggarai oleh inkapabilitas dan inkompetensi pada kandidat yang tidak memenuhi kualifikasi di perusahaan tertentu. 

Jika mereka diterima kerja, mereka belum lagi harus berjibaku dengan aturan-aturan perusahaan yag akarnya adalah kebijakan pemerintah. Gajimu yang rendah sekarang adalah bentuk dari kebijakan pemerintah. 

Tulisan ini hanya tumpahan rasa sebal yang dibungkus dengan kritik secara konstruktif. Penulis tidak akan mampu menuliskan banyak hal yang berhubungan dengan pemerintah. 

The point is everything is political, semuanya hampir selalu berhubungan dengan politik: Tiket pesawat, harga bahan pokok, bahan bakar, harga sunscreen, pajak, UKT mahal, harga tiket konser, dan lain sebagainya. Sehingga kita harus tetap bersuara kritis secara konstruktif lewat konten, blog, siniar untuk menggaungkan kewajiban-kewajiban yang pemerintah belum laksanakan secara maksimal.

Pemikiran seperti,
    "Ah! Enggak terlalu ngikutin politik"
    "Bodo amat deh. Enggak peduli"
    "Siapapun pemimpinnya, nyari duit juga sendiri-sendiri kan"

Ini sungguh menyesatkan. Politikus selalu berharap agar kita apolitis, mereka ingin kita tidak peduli dengan politik. Padahal, lewat politik kita bisa memahami hak-hak kita sebagai warga negara. Kita harus membuka mata kita siapa yang harus kita pilih nanti berdasarkan rekam jejaknya, cara berkampanye, visi-misinya, programnya, dsb.

Comments

Popular posts from this blog

Pacaran Meningkatkan Semangat Belajar?

Simple Past Tense Exercise