Demokratisasi AI: Revolusi Kreatif atau Kebebasan Semu?



A. Demokratisasi Digital

Selama ini aku mulai berpikir jika semua kegiatan kita sehari-hari sudah dipenuhi oleh AI, maka semua orang mampu melakukan apa pun. Ada orang yang sudah bisa membuat ilustrasi, padahal bukan ilustrator. Ada yang sudah bisa buat aplikasi, padahal bukan programmer. Ini semua mengarah pada demokratisasi digital.

Demokratisasi bukanlah barang baru. Sebagai contoh, sebuah es krim yang dulu hanya bisa dinikmati oleh para bangsawan, kini sudah bisa dinikmati oleh lapisan masyarakat mana pun. Dulu juga cuma orang kaya dan perusahaan besar saja yang bisa memiliki listrik. Kini listrik bisa diakses oleh semuanya. Itu disebut demokratisasi. Penyetaraan.

Pintu demokratisasi digital semakin terbuka lebar di era Kecerdasan Artifisial yang mempersilakan orang mampu membuat apa saja. Literally, anything. Akses untuk menjadi kreatif jadi semakin merata. Semua orang merasa punya hak untuk menjadi kreator di dunia digital lewat platform-platform yang tersedia.



But there is something wrong.

Justru dibalik semua itu:

1. Nilai kreatif jadi semakin mengabur

2. Skill jadi komoditas yang bisa dibeli dengan instan

3. Semakin banyak hasil karya AI yang marak, tapi semakin sedikit sentuhan yang manusiawi

Bayangkan, seorang pelamar menggunakan AI untuk membuat CV dan resume, sedangkan HRD menggunakan AI untuk memilih CV dan resume yang tepat. Sekilas justru terlihat canggih, tapi di situlah letak kekhawatirannya: Sentuhan manusia yang magis akan hilang.

Jadi, selain dunia semakin demokratis, AI bikin kita jadi lebih kuratif  untuk tahu mana hasil manusia sejati, mana hasil robot. Demokratisasi memang membuka kesempatan untuk kita menjadi setara, namun juga membuat kita jadi lebih tertantang untuk menghargai keterampilan murni yang diasah bertahun-tahun lamanya.

B. Konservatif dan Progresif

Dalam proses demokratisasi digital, perlu bertahun-tahun untuk bisa dipahami, khususnya sebagian besar oleh para idealis. Apa pun era demokratisasi, selalu terbagi menjadi dua kubu: konservatif dan progresif.

Konservatif bermakna mereka yang persisten memegang teguh nilai-nilai yang selama ini mereka yakini, misal, seorang seniman yang bangga akan disiplin ilmunya dan tidak akan membiarkan teknologi atau pihak eksternal yang bisa mencampuradukkan karyanya. Konservatif bagus dalam hal memelihara kemurnian suatu ideologi, tapi buruk dalam menerima hal baru.

Progresif bermakna mereka yang terbuka dengan perubahan. Mereka tidak masalah dunia bergeser berapa juta kali pun karena mereka sudah terbiasa adaptif dalam menerima perspektif baru. Progresif bagus dalam fleksibilitas, tapi buruk dalam hal menjaga kemurnian.

Di tahun 2000-an, para seniman ilustrator sempat terkesima oleh munculnya Adobe sebagai aplikasi disruptif yang mengganggu workflow para seniman tradisional. Banyak yang takut Photoshop dan tablet akan membunuh lokapasar seni ilustrasi tradisional. Nyatanya, justru peleburan antara konservatif dan progresif seniman akhir-akhir ini menjadi sebuah jalan seni yang baru.

C. Kesimpulan

Demokratisasi digital adalah hal yang baik selama moral kompasnya ada. Semua jadi setara. Semua bisa memproduksi ilustrasi seolah-olah menjadi seniman ilustrator. Semua bisa ngoding membuat aplikasi seolah-olah menjadi programer yang andal hasil bertahun-tahun belajar. Tapi tetap yang menjadi pembeda adalah value dari produk yang kita hasilkan.

Sebagai seniman, saya tidak anti AI. Sambil berintegritas, justru berkolaborasi dengan AI membantu kita mempermudah pekerjaan kita. Ini adalah gelombang yang tidak bisa dibendung.



Comments

Popular posts from this blog

Modul Ajar Bahasa Inggris 2024 - Descriptive Text Kelas Fase E (Kelas X)

Materi Mulok Bahasa Inggris: Grooming & Professional Appearance at Work