Manusia Semakin Bodoh, AI Semakin Pintar

Dewasa ini, teknologi semakin kompleks dan mutakhir. Kita sebut Artificial intelligence atau Kecerdasan Buatan, tapi saya lebih suka dengan istilah Akal Imitasi karena mirip dengan singkatan AI dari bahasa Inggris, Artificial intelligence. 



Akal Imitasi atau AI adalah sebuah program berisi data besar kode-kode yang mempelajari aktivitas tertentu untuk kemudian digunakan untuk mempermudah tugas-tugas manusia. Misal, ChatGPT yang siap merespon pertanyaan-pertanyaan kita itu isinya adalah puluhan juta kode. Ada lagi MidJourney, akal imitasi yang mampu memproduksi gambar hanya dengan mengetik teks. Coba ketik Jokowi joget gemoy, DUAR! Muncul dalam waktu singkat.

Akal Imitasi atau AI bahkan bisa menjadi otak dari sebuah robot yang mirip manusia betulan yang mampu merespon makhluk hidup dan sekitar. Robotnya bisa menjawab sesuai pertanyaan kita. "Hai, Robot! Kamu bisa berak?" misalnya.

Ngomong-ngomong, saya akan bagi menjadi tiga diskusi di dalam tulisan ini:

1. Kenapa AI bisa populer?

2. Apa dampaknya?

3. Kenapa AI dipandang negatif?

1. Kenapa AI bisa populer?

Pada dasarnya, AI diciptakan untuk sebuah efisiensi. Untuk membantu tugas-tugas manusia yang repetitif. Namun, seiring zaman berkembang, kapitalisme pun mulai mencium aroma keuntungan. Sejak teknik deep learning di tahun 2010-an, AI makin berkembang pesat. Mulai mampu memproses bahasa, mengenal gambar, bahkan menyetir mobil sekalipun.

Tahun-tahun ChatGPT diperkenalkan, kalangan pelajar yang malas dan bodoh semakin ketergantungan pada ChatGPT karena semua beban tugas yang tidak dia sukai, selesai dengan cepat dan gampang. Proses belajar mereka jadi terganggu.

Di lapisan bawah, manusia-manusia ini tidak segan-segan juga ikut nimbrung berharap dapat untung lebih dari industri tanpa etika ini. Tanpa malu mereka menyebut diri mereka Pekerja Seni, padahal kerjanya hanya prompting (kegiatan memproduksi teks untuk mendapatkan hasil AI). Mereka normalisasi, dramatisasi, dan tanpa sadar telah membunuh industri kreatif yang sedang bertumbuh. Rakyat lain yang buta literasi, tidak suka membaca, dan apatis dalam jumlah yang besar pun ikut meramaikan. We're doomed.

Di lapisan menengah, ada pemerintah yang ikut tone deaf atau budek sosial. Dari jajaran presiden, sampai menteri juga tidak tanggung-tanggung menggunakan AI tanpa tahu dampak yang diciptakan. Ini sudah jelas karena regulasi. Pemerintah yang seharusnya bisa menjadi pintu regulasi, malah ikut serta mempopulerkan AI ini. Dilakukan langsung dari pemerintah pusat guna berkampanye dan memasarkan konten-konten. Ditambah, banyak selebriti dan orang-orang yang memiliki pengaruh luas justru malah ikut budek sosial dan tidak peduli tentang penggunaan AI ini.



Di lapisan atas, ada para kapitalis-kapitalis busuk yang menjadi lintah dan menghisap industri kreatif tanpa lelah. Mulai dari Twitter (X), Meta (Facebook, Instagram, WhatsApp) hingga yang paling kita kenal dengan ChatGPT.

2. Apa dampaknya?

Buat kamu yang sedang baca sampai sini dengan kesadaran, terima kasih. Artinya, kamu penasaran dan ingin tahu kenapa AI perlu diregulasi. Dampak yang Akal Imitasi atau AI timbulkan adalah

a) Bergesernya industri kreatif

FYI, saya adalah seorang seniman yang terdampak di tahun 2022 karena penggunaan AI. Order-an jadi sulit, pemasukan jadi sedikit. Dapur jadi jarang ngebul hehe. Karena orang jadi lebih sering menggunakan AI Generative Image. Sudahlah gratis, cepat pula. Dibanding kita para seniman, untuk menciptakan karya butuh mempelajari brief, buat konsep, sketsa, pengerjaan, sentuhan akhir, belum lagi umpan balik dari klien. 

Padahal sebenarnya, AI Generative Image itu dibuat dari hasil pencurian massal karya-karya seniman. Data-data para seniman yang dicuri itu diambil untuk melatih program mereka agar sempurna. Sudah banyak yang menggugat, sudah banyak yang protes dan beberapa diproses. Karena jumlahnya massal, akhirnya tak terbendung.

Akhirnya, industri kreatif mengalah. Lebih baik bergeser, dari pada harus mati.

b) Terhambatnya perkembangan belajar individu

FYI, saya juga adalah seorang guru yang bertahun-tahun lamanya memperhatikan perilaku anak sejak munculnya AI ini. Mereka cukup ketergantungan dengan menggunakan ChatGPT yang memudahkan mereka mengerjakan tugas. Artinya, mereka akan melewati proses berkembangnya otak mereka. Jadinya, mereka jadi semakin tertinggal. Mereka semakin bodoh, AI semakin pintar karena diberi respon terus menerus.


3. Kenapa AI dipandang negatif?

1. Pencurian

Ya karena hasil nyolong, diglorifikasi, lalu membunuh industrinya. Mulai dari seniman seperti ilustrator, videografer, seniman 3D, konten kreator, pewarta berita, penulis, penerjemah, dan ratusan pekerjaan lainnya. Karya-karya mereka dicuri secara massal dan masih saja dibela.

Kompetisi akan lebih adil jika lawannya fair. Ini bukan seperti ojek pangkalan kalah dengan ojek online, ya! Dari segi moral saja sudah berbeda.

Ditambah, pencurian data pribadi dan penggunaannya secara tidak transparan.


2. AI Tanpa Regulasi

Sejauh regulasi ada dan ketat, AI tidak akan seproblematik ini. AI bisa menciptakan algoritma di dalam media sosial agar kita terkotak-kotaki, pikiran kita jadi sempit karena bubble effect yang ditimbulkan. Yang pada akhirnya membentuk opini kita tanpa dasar dan fakta sama sekali.


3. Mesin Propaganda

AI menjadi mesin canggih yang siap mencekoki para rakyat lewat algoritma sosial media seperti TikTok. Salah satu contohnya adalah Ferdinand Marcos, Jr., yang menggunakan pasukan troll TikTok untuk menarik suara warga Filipina yang lebih muda selama pemilihan umum Filipina tahun 2022. Sama halnya Prabowo-Gibran kemarin yang memenangkan opini di TikTok dengan menggunakan pendengung (buzzer) sebagai cara kotor untuk mencuci pikiran warga internet.



Setelah semua ini, lalu sebaiknya bagaimana?

Gunakanlah Akal Imitasi atau AI dengan bijak. Jika sekiranya ada tugas yang tujuannya melatih kompetensi kita, maka gunakan AI seminimal mungkin agar otak kita mampu bertumbuh, bukan malah AI-nya.

Menggunakan AI bukanlah sebuah dosa besar karena terdapat banyak kesempatan pekerjaan dan jalan yang terbuka juga. Banyak kemudahan yang justru muncul darinya, namun jangan tempatkan kemudahan tersebut untuk membunuh kemampuan kita sebagai seorang manusia.

Comments

Popular posts from this blog

English Exercises [High School Level]

Self-Journaling: Dalam Diskusi Menciptakan Negara Baru