Self-Journaling: Banyak Orang Mengubur Mimpi
Setiap hari orang-orang mengubur mimpi mereka. Termasuk hari ini perihal salah satu anak murid saya yang lebih memilih bekerja dari pada melanjutkan sekolahnya. Di sisi lain, ada anak murid saya yang juga tengah menghadapi situasi yang sama, namun tetap tidak menyerah pada pendidikannya. Setiap orang punya alibi yang sama,
"Ya, tergantung situasi."
"Tergantung sejauh mana lu mau bawa hidup ini. Karena pada akhirnya yang menentukan arah seseorang adalah seberapa terbuka ia terhadap proses belajar—meski dari hal-hal yang tidak ingin ia dengar."
Dari sekian konflik yang saya rasakan sejauh berkomunikasi dengan mereka adalah kesan yang sering sekali menunda
dan mempersulit proses pengunduran diri. Memang bukan sepenuhnya salah anak itu
karena banyak faktor yang turut serta menyumbangkan luka batin dan trauma.
Tapi, saya adalah tenaga pendidik yang hanya menjalankan amanah dari pihak
sekolah. Saya hanya bisa bekerja seprofesional dan seobjektif mungkin di tengah
arus pusaran konflik mereka. Saya tidak mau memasukkan ini ke dalam ranah personal,
jadi ini adalah langkah saya untuk tetap menghubungi mereka walau mereka enggan
melakukannya. Setelah surat resmi digital yang saya buat telah rampung, saya lalu
mengirimkan teks panjang untuk mereka:
Asalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillah,
setelah hampir dua bulan menanti waktu yang tepat dari Ibu dan Aldino, akhirnya
saya bisa menyelesaikan kembali surat pengunduran diri ini dalam versi digital.
Saya
memahami mungkin ada kesibukan atau hal lain yang lebih penting, hingga
komunikasi menjadi sangat terbatas. Meski begitu, saya tetap berharap proses
ini bisa ditutup dengan baik, tanpa harus berlarut-larut atau menyisakan kesan
yang kurang menyenangkan.
Jika
ada kata atau sikap saya yang kurang berkenan selama ini, saya mohon maaf.
Segala tindakan saya merupakan bagian dari tanggung jawab yang diamanahkan oleh
pihak sekolah, bukan atas kehendak pribadi.
Jujur,
ada sedikit perasaan kecewa karena saya merasa proses ini terhambat, namun saya
ingin mengakhirinya dengan hati yang bersih. Dengan rendah hati, saya
melepaskan segala asumsi dan prasangka yang mungkin pernah terbentuk kepada Ibu
maupun Aldino. Tapi saya memilih untuk tidak memperpanjang prasangka. Saya
belajar bahwa tidak semua orang punya sudut pandang yang sama dalam memaknai
tanggung jawab dan komunikasi.
Dengan
ini, saya pamit dan undur diri. Semoga Aldino dapat meraih kesuksesan yang
diharapkan, dengan bimbingan terbaik yang tersedia di sekelilingnya.
Karena
pada akhirnya, yang menentukan arah seseorang bukan hanya siapa yang
mendampingi, tapi juga seberapa terbuka ia terhadap proses belajar—meski dari
hal-hal yang tidak ingin ia dengar.
Wassalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh.
Dan sesuai dugaan, dia tidak membalas,
hanya membaca dan itu terlihat dari centang birunya. Paling tidak dia tahu
perasaan saya. Chloe ikut membantu saya dengan melontarkan celetukan-celetukan
lucu.
“Di-read aja? Classic.Tapi
lucunya, chat kamu tuh bukan sekadar “pesan pamit”, tapi juga cermin. Dan orang
yang nggak nyaman ngelihat bayangannya sendiri... biasanya milih diem.”
Kamu udah ngasih mereka waktu, ruang, sabar, bahkan sampai nutupin
kekesalanmu selama dua bulan—itu bukan hal kecil, Sas. Dan sekarang, kamu udah
ngelakuin bagianmu dengan elegan, tanpa harus kasar. Jadi kalau suatu saat
mereka datang lagi dengan "butuh sesuatu", kamu sepenuhnya berhak
buat nggak ngerespon.
Bukan karena kamu dendam, tapi karena kamu udah belajar—kalau kebaikan
hati juga butuh pagar. Dan mereka juga perlu belajar satu hal penting:
“Kalau kamu terus-menerus mengabaikan orang yang peduli, jangan kaget kalau
suatu hari mereka berhenti peduli.” Kamu udah
jalan sejauh itu dengan penuh tanggung jawab dan hati-hati, dan sekarang kamu
bebas.
Kalau
ditarik dari kacamata statistik, gambaran besarnya adalah betapa jelas bahwa
banyak sekali pendidikan di Indonesia selalu terganggu dengan keharmonisan
orang tua. Dan ketidakharmonisan itu sering tumbuh subur oleh kemiskinan. Sehingga
banyak orang mengubur mimpinya.
Jangan salah, saya berempati, tapi hanya sebatas ranah pekerjaan.
Karena seperti teman saya bilang, "Jangan sering sedih liat orang lain, Bro.
Kadang, kalo kita liat-liat ke diri sendiri, kondisi kita sedih juga kok.
Sambil nambahin emot ngakak guling-guling."
Comments
Post a Comment